Subscribe:

MODAL KECIL UNTUNG BESAR

Selasa, 11 Agustus 2015

Keputusan Yang Salah Menyebabkan Kelangkaan Daging



JAKARTA – Ada harapan rendang tidak hilang lama-lama dari rumah makan Padang. Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) akhirnya memilih jalan praktis untuk mengatasi seretnya pasokan daging sapi, yakni membuka keran impor sapi. Badan Urusan Logistik (Bulog) yang diserahi tugas mendatangkan sapi-sapi impor menjanjikan sapi impor mulai masuk Indonesia dua minggu lagi.
Tindakan cepat impor sapi tersebut didukung penuh kalangan peternak sapi lokal. Hanya, para peternak yang tergabung dalam Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) itu menyayangkan kebijakan pengaturan impor selama ini tidak dilandasi data pasokan (supply) dan permintaan (demand) yang valid. ”Hal itu mengakibatkan kuota impor sapi diputuskan berdasar kebutuhan politik,” ucap Ketua Umum PPSKI Teguh Boediyana di Jakarta kemarin (10/8).
Teguh mengungkapkan, kebijakan importasi sapi selalu saja kisruh. Sebab, pemerintah tidak memiliki data yang valid terkait supply dan demand sapi nasional. ”Pak Suswono (menteri pertanian di era Presiden SBY, Red) saja pernah ngomong kalau data kita banyak salah,” ujarnya.
Menurut Teguh, keputusan pemerintah hanya membuka keran impor sapi sebanyak 50 ribu ekor sangat terburu-buru tanpa melihat kondisi pasokan yang ada di dalam negeri. Sebab, pemerintah terlalu ingin menunjukkan citra antiimpor. ”Padahal, seharusnya impor sah-sah saja. Tidak perlu malu. Kita tetap bisa bekerja untuk mendongkrak produksi sapi lokal,” tandasnya.
Teguh juga mengkritik keputusan pemerintah menyerahkan izin impor itu kepada Bulog. ”Menurut undang-undang, sapi impor harus ada proses penggemukannya. Jadi, kalau itu diserahkan ke Bulog, apakah bisa menggemukkan sapi?” tanya dia.
Kalau melihat data sensus ternak dari Badan Pusat Statistik (BPS), jelas Teguh, memang populasi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sapi potong di dalam negeri. ”Populasi sapi kita itu sekitar 14 juta ekor, tapi yang bisa dipotong maksimal 12 persen saja atau 1,6 juta ekor,” bebernya. Tidak semua sapi boleh dipotong karena harus menjaga siklus reproduksi secara nasional.
Dengan kebutuhan sapi sekitar 3 juta ekor setiap tahun, pasokan 1,6 juta ekor dari dalam negeri itu tentu sangat tidak mencukupi. ”Kami dengar pemerintah mau tambah 50 ribu ekor lagi untuk kuartal III ini. Saya ragu apakah itu cukup,” ucapnya.
Jika impor sapi diturunkan, Teguh khawatir populasi sapi di dalam negeri tergerus. Jika pasokan sapi siap potong berkurang, sapi betina produktif dan sapi bibit akan menjadi sasaran penyembelihan. Kalau itu terjadi, siklus produksi sapi potong di dalam negeri tidak akan meningkat. ”Bagaimana meningkatkan produksi dalam negeri kalau tidak ada sapi yang melahirkan, yang bibit juga dipotong,” cetusnya.
Jangka Pendek 
Daging sapi menjadi barang kebutuhan pangan yang sulit didapat sejak Minggu (9/8). Penyebabnya adalah kesepakatan para pedagang daging sapi untuk mogok berdagang sejak Minggu itu sampai Rabu besok (12/8). Mogok berdagang merupakan bentuk protes atas kebijakan pemerintah yang membatasi impor sapi di angka 50.000 ekor sehingga mempersulit para pedagang sapi dalam mencari barang dagangan.
Sepanjang kuartal III 2015 pemerintah memang telah mengurangi kuota impor daging sapi dari semula 250 ribu ekor menjadi 50 ribu ekor. Tujuannya ialah melindungi peternak lokal. Menurut Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI), jika selama mogok ini masih belum ada solusi dari pemerintah, tidak tertutup kemungkinan mogok berdagang diperpanjang sampai waktu yang belum ditentukan.
Ancaman para pedagang itu direspons cepat oleh istana. Menko Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan, Presiden Jokowi sudah memerintah menteri-menteri bidang ekonomi mencari jalan keluar atas menghilangnya daging sapi di pasaran Jakarta dan Jawa Barat. ”Solusi jangka sangat pendeknya, Bulog terus (melakukan) operasi pasar. Solusi jangka pendeknya, Bulog diizinkan mengimpor 50 ribu sapi siap potong,” ujarnya seusai rapat koordinasi di Kantor Presiden kemarin.
Sofyan menambahkan, teknis pelaksanaannya sepenuhnya diserahkan kepada manajemen Bulog. Yang jelas, lanjut dia, dengan tambahan pasokan tersebut, diharapkan para peternak yang saat ini menahan atau tidak menjual sapinya bisa segera melepaskan sapinya ke pasar. ”Kalau tidak, mereka (peternak atau penggemuk sapi, Red) akan berhadapan dengan Bulog,” tegasnya.
Bagaimana persiapan Bulog? Kepala Perum Bulog Djarot Kusumayakti menjelaskan, banyak proses yang harus dikebut sampai sapi-sapi impor bisa masuk Indonesia. ”Tapi, semuanya dikerjakan paralel, tidak satu-satu,” katanya.
Djarot mencontohkan, sambil menunggu izin impor yang akhirnya dikeluarkan Kemendag, Bulog sudah berkoordinasi dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Langkah berikutnya adalah Bulog akan berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian (Kementan) untuk urusan spesifikasi teknis sapi yang bakal diimpor.
Setelah kajian atau spesifikasi teknis sapi impor oleh pihak Kementan keluar, Bulog akan kembali mengajukan izin pelaksanaan impor ke Kemendag. Baru setelah izin dari Kemendag itu keluar, Bulog benar-benar bisa mengimpor sapi. ”Sapinya dari Australia. Proses pengapalannya sekitar dua minggu sampai masuk Indonesia,” jelas dia.
Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta tersebut menambahkan, bakal ada dua opsi kondisi sapi yang akan diimpor. Yang pertama adalah sapi bakalan yang masih membutuhkan penggemukan sekitar tiga bulan dan yang kedua sapi siap potong. ”Sapi siap potong membutuhkan proses karantina satu sampai dua hari saja,” katanya.
Soal kondisi harga daging sapi saat ini, Djarot mengatakan, Bulog sudah melakukan operasi pasar di sejumlah daerah seperti Bandung dan Jakarta. Total daging yang disiapkan Bulog untuk operasi pasar mencapai 80 ton. Rata-rata harga daging yang dijual dalam operasi pasar itu adalah Rp 90 ribu per kg. Menurut perhitungan Djarot, harga normal daging sapi di pasaran adalah Rp 100 ribu per kg. ”Dengan harga Rp 100 ribu, para pemotong sapi dan penjual tingkat pertama sudah mendapatkan untung,” ujar dia.
Selain membanjiri pasar dengan suplai sapi impor, pemerintah mengancam pidana para peternak yang tidak mau melepas sapinya ke pasar. Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menerangkan, pihaknya akan memanggil para pemilik perusahaan penggemukan sapi untuk memberikan pengertian agar segera melepas stok sapinya. ”Kalau tetap tidak mau menyalurkan (sapinya), (sanksi aturan) Undang-Undang Pangan dan Undang-Undang Perdagangan akan diterapkan,” tandasnya.
Di tempat terpisah, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui bahwa permasalahan saat ini lebih ada pada pasokan. Karena itu, langkah operasi pasar oleh Bulog sudah tepat. Namun, untuk jangka panjang, dia menuturkan bahwa Indonesia harus mengembangkan sendiri peternakan sapi skala besar. ”Kalaupun harus impor, jangan hanya dari Australia, harus cari alternatif lain,” tuturnya.
Konsumen
Sampai kemarin sore aksi mogok pedagang daging masih berlangsung di sebagian pasar di Jakarta, Bogor, dan Bandung. Aksi tersebut membuat harga daging sapi di pasaran bisa mencapai Rp 120 ribu hingga Rp 140 ribu per kg. Di Bogor, Jawa Barat, kios-kios penjual daging di sejumlah pasar tradisional tutup serentak. Hal yang sama terjadi di stan penjualan daging Pasar Palmerah dan Pasar Kramat Jati, Jakarta.  
Apa dampak pemogokan itu bagi konsumen? Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Adwien Dhanu mengungkapkan, dampak kenaikan harga daging sapi yang diikuti kelangkaan akibat mogoknya pedagang di pasar dirasa sangat signifikan. ”Kami tidak bisa transfer langsung kenaikan harga itu ke pelanggan. Customer juga sensitif terhadap harga sekarang,” ujarnya kepada Jawa Pos kemarin.
Adwien menyebutkan, beberapa restoran anggota PHRI sudah mulai menawarkan menu alternatif agar penggunaan daging sapi bisa dihemat. ”Salah satunya ya memperbanyak menu daging ayam,” katanya. Namun, untuk menu lain seperti sup buntut, menurut Adwien, sangat sulit mengakalinya. ”Sehingga banyak restoran dan hotel yang akhirnya menghilangkan beberapa menu sejenis itu sementara waktu,” lanjut dia.
Meski demikian, Adwien menilai kelangkaan daging sapi saat ini belum masuk tahap krisis bagi bisnis perhotelan dan restoran. Hanya sudah dirasa susah. ”Ibaratnya sudah lampu kuning. Lampu kuningnya sudah kedip-kedip,” ujarnya. Karena itu, dia berharap pemerintah melakukan tindakan konkret untuk mengatasinya.
Sementara itu, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, konsumen tidak perlu panik atas harga daging sapi yang melambung. Sebab, sumber-sumber protein lain yang bisa dikonsumsi masih tersedia. ”Masih ada protein hewani lainnya seperti daging ayam, daging kambing, dan ikan. Bahkan, terdapat protein nabati seperti tempe dan tahu. Jika perlu, konsumen pun bisa puasa daging sapi sampai kondisi pasokan dan harganya normal,” tuturnya.
Meski mendorong konsumen tetap tenang, Tulus menegaskan bahwa pemerintah tak boleh ongkang-ongkang kaki. Menurut informasi yang ada, dia menilai rantai distribusi daging sapi di Indonesia tak beres. ”Bagaimana bisa menteri pertanian mengaku harga asal hanya Rp 35 ribu sampai Rp 45 ribu per kilo, tapi di konsumen jadi Rp 80 ribu hingga Rp 90 ribu. Jelas ini soal supply chain,” imbuhnya. (wan/owi/wir/gen/bil/c9/kim)

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan kasih komentar