Subscribe:

MODAL KECIL UNTUNG BESAR

Minggu, 09 Agustus 2015

Jakarta Mogok Daging



JAKARTA – Masyarakat di wilayah Jakarta, Bandung, dan Banten harus menahan diri tidak bisa makan daging sapi selama empat hari. Sebab, Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) di wilayah itu melakukan mogok jualan daging sapi sejak kemarin (9/8) hingga Rabu lusa (12/8). Aksi yang sama disiapkan pedagang daging di Jawa Timur (Jatim) jika masalah kelangkaan pasokan tidak kunjung teratasi.
Ketua Umum APDI Asnawi mengatakan, aksi menolak berjualan tersebut disebabkan pedagang sudah tidak tahan dengan kenaikan harga daging di tempat pemotongan hewan atau jagal sebesar Rp 2.000 hingga Rp 4.000 per kilogram (kg). Sementara itu, harga jual selama ini tidak bisa naik lagi karena telah mencapai di atas Rp 120 ribu per kg. ”Sebagai pedagang, kami sah saja juga ikut menjual mahal sampai Rp 130 ribu per kilo, namun risikonya tidak akan laku. Sedangkan kalau menahan harga, untungnya sedikit sekali,” ungkapnya di Jakarta kemarin.            
Dengan aksi mogok serentak, Asnawi meminta pemerintah segera mengambil sikap untuk mengatasi persoalan tersebut. Menurut dia, pemerintah dan semua pihak harus duduk bersama serta menghitung ulang kebutuhan dan ketersediaan pasokan sapi nasional. Sebab, berita yang ada masih simpang siur antara kesiapan peternakan lokal dan kenyataan di lapangan. ”Kalau memang pasokan daging kurang, bisa dibuka kembali impor,” tuturnya.
Menurut Asnawi, harga jual daging sapi di pasaran cenderung terus naik setelah pemerintah mengumumkan hanya akan mengimpor 50 ribu sapi di kuartal/triwulan III tahun ini (data di grafis). Menurut APDI, pemberian izin impor 50 ribu ekor sapi itu sangat jauh dari kebutuhan. Sebelumnya importer mengajukan kuota impor 250 ribu ekor. ”Kami berharap demo ini bisa membuat pemerintah mengubah kebijakannya,” ujar dia.
Berdasar pantauan Jawa Pos, aksi mogok pedagang kemarin terjadi di hampir seluruh wilayah Jabodetabek, terutama di kota-kota besar di Jawa Barat dan Banten. Di pusat penjualan daging Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur, suasana kios daging terpantau sepi. Tak ada tanda-tanda kegiatan jual beli. Beberapa pedagang terlihat hanya duduk-duduk di sekitar kios mereka berjualan. Lapak-lapak penjual daging yang biasanya ramai pada akhir pekan terlihat bersih. Jika ada daging yang dijual, jenisnya adalah daging sapi keras dan sudah tak segar. ”Tak ada pasokan baru,” ujar Aminah, salah seorang pedagang di sana.
Pemandangan serupa terlihat di Pasar Anyar Kota Bogor. Meja tempat berjualan bersih dari daging. Para pedagang lebih memilih bersantai di kios-kios miliknya. Hendrawan, 37, pedagang di pasar itu, menyatakan sudah menerima surat selebaran dari APDI sewilayah Jabodetabek bahwa selama empat hari pedagang diimbau tidak berjualan daging. ”Jelas kami mendukung. Sebab, harga daging sejak Lebaran tidak turun di kisaran Rp 120.000 hingga Rp 130.000 per kilogram,” ucapnya.
Bukan hanya pasar daging, pemotongan hewan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Kota Bogor juga diliburkan menyusul pedagang daging sapi mogok berjualan. Kepala RPH Arif Mukti mengatakan, aktivitas pemotongan diliburkan terhitung mulai kemarin hingga Rabu lusa. ”Selama empat hari, mulai hari ini (kemarin) pukul 12.00 WIB hingga tiga hari ke depan, di RPH tidak ada aktivitas pemotongan. Hal tersebut menyusul aksi mogok para pedang daging,” terang Arif.
Bagaimana pedagang sapi di Jatim? Ketua Paguyuban Pedagang Sapi dan Daging Segar Jatim Muthowif menyatakan belum menempuh langkah mogok seperti yang dilakukan di berbagai daerah. Pihaknya masih melakukan koordinasi dengan sejumlah pedagang dan jagal di Jatim, di antaranya di Malang Raya, Kota/Kabupaten Pasuruan, Sidoarjo, Mojokerto, Gresik, dan Lamongan. ”Intinya, kami ingin satu suara bahwa mencari sapi itu susah,” ujar dia kemarin.
Selain itu, pihaknya masih memantau kondisi di lapangan hingga satu minggu ke depan. ”Kami tidak bisa membiarkan seperti ini terus. Kalau memang itu berlarut-larut hingga minggu depan, bukan tidak mungkin kami menempuh langkah yang sama (mogok, Red),” tegas Muthowif.
Tercatat, rata-rata harga daging sapi di Jatim Rp 100.000 per kg. ”Wajar saja harga daging di Jakarta bisa mencapai Rp 120.000 hingga Rp 130.000 per kilo. Karena salah satunya mereka ambil dari Jatim. Selain harga feedlotersudah tinggi, ditambah dengan ongkos angkut,” lanjutnya.
Waktu sepekan ke depan akan dimanfaatkan untuk berkoordinasi, salah satunya dengan pemprov. Menurut Muthowif, pemprov harus mengeluarkan kebijakan pelarangan pengiriman sapi ke luar Jatim. ”Estimasi sekarang, sekitar 30 persen dikirim ke luar Jatim. Sementara persoalannya, tidak ada kepastian mengenai jumlah sapi di Jatim,” lanjutnya.
Pemogokan para pedagang daging sapi juga berdampak pada warung-warung masakan Padang. Rendang, menu andalan di rumah makan Padang yang menggunakan daging sapi, terancam menghilang. ”Kalau hari ini sih saya masih dapat di Pasar Citayam. Tapi, besok nggak tahu deh kalau pedagang mogok semua,” kata Ira, pemilik rumah makan Padang di Jalan Raya Citayam, Depok, kemarin.
Ira menambahkan, sejak Lebaran lalu harga daging sapi melonjak tajam. Di Pasar Citayam dia harus membeli daging sapi dengan harga Rp 140.000 per kg saat Lebaran. Kini harga daging sapi tak jauh berbeda, masih jauh di atas harga normal Rp 90.000–100.000 per kg.
Jika hari ini para pedagang masih mogok, Ira pun hanya bisa pasrah rendang yang menjadi andalan warung nasi Padangnya terancam tidak bisa disajikan. ”Nggak tahu lah mau bagaimana. Kalau nggak ada ya sudah,” ujarnya.
Data Keliru
Menteri Perdagangan Rachmat Gobel yang dimintai konfirmasi mengenai hal itu mengatakan sedang mengkaji penambahan izin impor sapi untuk kuartal III tahun ini. Dia mengungkapkan, izin yang dikeluarkan sebelumnya memang belum banyak. ”Yang (izin impor) 50 ribu ekor sapi itu adalah untuk yang tahap pertama saja di kuartal sekarang ini (kuartal III). Bukan berarti kita menurunkan kuota, bisa saja lebih nanti,” terangnya.
Menurut estimasinya, kebutuhan impor sapi pada kuartal III diperkirakan sekitar 200 ribu ekor awalnya. Namun, saat ini pemerintah tengah melakukan evaluasi ketersediaan stok sapi di dalam negeri, baik dari sisi besaran kebutuhan maupun kesiapan peternak lokal. ”Ini sedang dilakukan evaluasi, terkait pasokan dalam negeri. Pemerintah hanya akan mengeluarkan izin impor kalau sesuai kebutuhan,” sebutnya.
Keputusan hanya membuka keran impor 50 ribu ekor sapi pada kuartal III diambil karena sebelumnya pemerintah mendapat data bahwa sapi dari Nusa Tenggara Timur (NTT) selama ini tidak laku karena banyaknya sapi impor yang didatangkan dari Australia. ”Kemarin kita dikasih tahu pada waktu kita mau impor (sapi) dibilang sapi dari NTT tidak bisa dijual karenanggak ada pasar,” ungkapnya.
Hal itu menjadi masukan dan harus dipertimbangkan pemerintah. Apalagi, kuota impor yang diberikan sepanjang semester pertama tahun ini tidak mampu menekan harga daging sapi di pasaran. Pihaknya menduga masih ada stok sapi impor yang belum dilepas ke pasaran oleh importer. ”Kita akan selidiki itu, apakah semuanya sudah sampai ke pasar atau belum. Kita masih harus melakukan evaluasi menyeluruh,” tuturnya.
Gobel menjelaskan, kebijakan impor dilakukan untuk menjaga stabilitas pasokan dan menekan harga yang diterima masyarakat. Apabila persediaan di dalam negeri mencukupi, kebijakan impor bukanlah suatu keharusan bagi pemerintah. ”Semangat kita adalah mengutamakan produksi dalam negeri. Kalau memang cukup, seharusnya kita pakai yang ada, tidak perlu impor,” tegasnya.
Penyakit Kambuhan
Persoalan harga daging sapi yang seolah seperti penyakit kambuhan harus menjadi evaluasi, terutama pentingnya menata sistem hulu ke hilir. Menciptakan harga dan pasar wajar salah satu komoditas kegemaran masyarakat itu bukan sekadar berpatokan pada supply (pasokan) dan demand(permintaan).
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, persoalan harga daging sapi di Indonesia terbilang kompleks. ”Tidak bisa diselesaikan secara paralel,” ujarnya kepada Jawa Poskemarin.
Menurut peraih gelar doktor program studi ilmu ekonomi pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) itu, harga daging tidak cukup diatasi dengan data milik Kementerian Pertanian yang membeberkan jumlah ternak sapi sekian dan populasi sapi sekian banyak. Sehingga jika dikonversi menjadi daging dianggap cukup untuk stok pasar, lalu keputusan impor dan ekspor diambil. Perhitungannya tidak semudah itu. ”Coba dicek lagi situasi sesungguhnya, termasuk di RPH. Jika sistemnya tidak baik, sangat mudah terjadi spekulasi. Ada range seeker (pencari untung dari selisih harga, Red),” tegasnya.
Enny menyarankan agar pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan, sebaiknya mulai meningkatkan koordinasi dan kerja lapangan bersama perangkat lainnya. Terutama pemerintah daerah serta pelaku pasar, termasuk Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi. ”Dari situ bisa dicari bottlenecking-nya (sumbatan) di mana,” ujar Enny. (wir/gen/res/c9/kim)

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan kasih komentar